Skip to main content

Maju Bersama Boleh, Tapi Untuk Kebaikan Yes!

Pelopor kajian filsafat Indonesia, M. Nasroen pastilah sedih ketika istilah ‘gotong royong’ yang beliau ciptakan 50 tahun silam, kini dipakai warga Jakarta untuk bersama-sama melakukan keburukan, khususnya oleh para pengendara motor yang setiap harinya mengadu nasib di Jakarta.

Saya adalah bagian dari kumpulan pengendara motor tersebut, kumpulan yang menurut data Polda Metro Jaya tahun 2015, menjadi mayoritas dengan persentase sebesar 74,94 persen atau setidaknya berjumlah 13,98 juta unit, jauh mengalahkan populasi mobil yang hanya sebesar 18,58 persen atau berjumlah 3,4 juta unit.

Sebagai warga pinggiran (baca: Tangerang Selatan), tentu saya harus memiliki semangat, atau tingkat kebrengsekan lebih tinggi agar bisa bersaing dengan warga lokal Jakarta, atau sesama warga pinggiran lainnya. Tujuannya sederhana, saya hanya ingin bertahan hidup atau sesederhana tidak telat sampai di kantor.

Tetapi jika kamu kira hal tersebut membuat jalanan Jakarta begitu kejam, dimana budeg mendadak dan kesetanan adalah perilaku lumrah, serta sumpah-serapah adalah bagian dari kehidupan sehari-hari para pengendara motor, kamu keliru. Dibalik semua hal tersebut, keburukan paling utama adalah ketika para pengendara motor berkomplot melaksanakan siasat untuk mencapai suatu tujuan, yang buruk lagi berbahaya.

Ketika itu pagi di hari kerja. Padat merayap saya berkendara menuju kantor di Jalan Panjang, Jakarta Barat. Karena saya dari Pamulang, Tangerang Selatan, rute paling logis ialah melewati Jalan Arteri Pondok Indah, tentu dengan tidak melalui Ciputat (karena hanya pekerja amatiran yang melalui Ciputat di hari kerja) tetapi lewat Bintaro menembus perumahan Pondok Indah.

Dari Arteri hingga Jalan Panjang, terbentang jalur Transjakarta yang memiliki separator setinggi 60cm; cukup tinggi untuk tidak bisa dilewati motor-motor konvensional yang ground clearance-nya hanya berada dikisaran 140mm saja.

Melewati jalur Transjakarta tentu adalah sebuah pertaruhan, namun karena polisi jarang melakukan razia mendadak di pagi hari lantaran hanya membuat jalanan semakin macet, para pengendara motor memberanikan diri untuk masuk menggunakan jalur Transjakarta, termasuk saya.

Saya bersama pemotor lainnya memacu kendaraan dengan kencang, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ternyata, beberapa ratus meter di depan, sekumpulan polisi sudah menunggu kami, seperti nelayan yang menunggu ikan-ikan masuk ke jaring mereka.

Sontak saya dan pemotor lainnya berhenti, kelimpungan tidak bisa putar balik karena di belakang terlihat melaju bus Transjakarta dengan jemawa.

                “Woi! Ayo rame-rame angkat motornya!” Ujar seorang pengendara yang sudah berumur. 

Tanpa pikir panjang saya dan lainnya bergegas mengangkat motor beliau melompati separator busway yang tinggi, namun alih-alih langsung menancap gas, beliau ikut mengangkat motor-motor lainnya yang terjebak; ada enam sampai delapan motor ketika itu.

Jalanan pagi itu makin riuh, pengendara motor yang taat menghardik kami, bus Transjakarta yang tidak bisa lewat meraung-raung, tanda sang sopir membunyikan klakson berkali-kali. Semua motor pun berhasil dipindahkan, tidak ada yang kena tilang, tidak ada yang tergilas bus Transjakarta, semua selamat. Hari itu adalah hari yang membanggakan dimana saya memiliki kontribusi terhadap sesama warga, meski dalam hal keburukan.

Saya bisa saja bernasib sial, seperti 124 kecelakaan bermotor lainnya yang terjadi pada tahun 2017,ini merujuk data Polda Metro Jaya, dengan sebelas diantaranya meninggal, 31 orang luka berat, dan 116 orang luka ringan. Tetapi sekali lagi saya beritahu, menjadi orang bijak di jalanan Jakarta bukan perkara mudah.

Hal paling berbahaya dari rutinnya kejadian-kejadian diatas adalah ikut tumpulnya akal sehat di tengah komplotan pelanggar tersebut. Karena dilakukan beramai-ramai, terkadang aturan bisa dikangkangi oleh waktu dan tuntutan pekerjaan yang membelit.

Setelah sedikit belajar tentang tata krama di jalan, atau sekadar melihat langsung kecelakaan motor yang membuat dengkul lemas, saya memutuskan untuk menjadi lebih baik.

Di perempatan besar pada suatu ketika, saya dan pemotor lainnya sedang menunggu lampu lalu lintas beralih hijau agar bisa sampai rumah, waktu sudah menunjukkan pukul enam petang, lagi-lagi rush hour. Karena saya berada paling depan, saya tidak bisa melihat warna lampu tersebut dengan jelas, saya pun mengikuti pacuan beberapa pengendara motor, yang ternyata kesemuanya adalah pelanggar lalu lintas, dan ndilalah saya juga termasuk di dalamnya!

Saya sejujurnya tidak tahu apa yang terjadi dengan Jakarta dan isinya, yang saya tahu, tekanan pekerjaan begitu tinggi, tingkat kemacetan semakin meningkat, wajar jika kejadian-kejadian diatas akan selalu terjadi.

Berkendara tiga-empat jam di jalan adalah hal lumrah, persetan dengan larangan menggunakan headset ketika berkendara, itu salah satu cara agar saya bisa menjaga kewarasan karena ngeheknya jalanan Ibu Kota. Cara lainnya? Pulang lebih malam dengan mengungsi ke mal atau kafe terdekat, ini cara konsumtif dan sangat kekinian.

Sekarang saya sedang tinggal di Jogja, kota yang keadaannya berbeda 180 derajat dari Jakarta, Jogja yang selo; bahkan untuk bertanya jalan pun, saya harus mematikan dan memarkir motor terlebih dahulu agar dianggap sopan, hal yang tidak dialami lagi oleh warga Jakarta.

Maka ketika Anies Baswedan yang baru saja dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta memakai tagline “Jakarta Maju Bersama” dan mengatakan ingin menciptakan kebahagiaan bagi seluruh warganya (semoga tanpa terkecuali). Saya hanya bisa berdoa, “jika maju bersama untuk kebaikan, ya Allah tolong kabulkanlah keinginan bapak Anies.” 

Comments

Popular posts from this blog